Lima tahun lalu…
Vita Elina sari gadis manis yang cerdas, ceria, sedikit nakal namun punya seribu impian, salah satu impiannnya yaitu kuliah ke luar negeri di Harvard University dan jadi psikolog terkenal di Indonesia. Demi impiannya ini Vitaa mati-matian belajar, ia ingin mendapatkan beasiswa untuk kuliah di sana. Vita telah melewati ujian untuk mendapat beasiswa namun hasilnya baru akan keluar sebelum UAN diselenggarakan. Setiap hari Vita menunggu kabar dari pihak penyelenggara beasiswa tapi tak kunjung ada kabar, dia sangat berharap bisa mendapatkan beasiswa itu.
Vita Elina sari gadis manis yang cerdas, ceria, sedikit nakal namun punya seribu impian, salah satu impiannnya yaitu kuliah ke luar negeri di Harvard University dan jadi psikolog terkenal di Indonesia. Demi impiannya ini Vitaa mati-matian belajar, ia ingin mendapatkan beasiswa untuk kuliah di sana. Vita telah melewati ujian untuk mendapat beasiswa namun hasilnya baru akan keluar sebelum UAN diselenggarakan. Setiap hari Vita menunggu kabar dari pihak penyelenggara beasiswa tapi tak kunjung ada kabar, dia sangat berharap bisa mendapatkan beasiswa itu.
***
“Vita akan ke Cambridge yah…” dengan penuh semangat vita mengumumkan hasil tes beasiswanya. Semuanya kaget namun beberapa saat kemudian bertepuk tangan dan tertawa riang. “Kepala sekolah yang memberitahu Vita, kemarin”, lanjut Vita sumringah.
“Selamat ya, nak. Ayah dan ibu bangga sekali sama kamu, semoga semua impianmu terwujud. Nah, sekarang kamu harus belajar lebih giat agar nilai UAN-mu nanti juga bagus,” ucap ayahnya hangat.
“Ya, syukur-syukur bisa dapat nilai tertinggi dan jadi juara umum ya, kak.” celetuk rendi riang. Suasana makan malam di rumah yang sederhana itu menjadi sangat hangat dan penuh kebahagian.
***
Entah mengapa hari ini langit begitu mendung, matahari sama sekali tak menampakkan sinarnya. Awan hitam bertengger di atas langit dari pagi hingga petang. Anna duduk di teras sambil membaca buku, tapi sepertinya ia tengah melamun
“Kapan hasil UAN-mu keluar, Vita?” tanya buk Ita sambil mengelus rambut putrinya.
“Aah…ibu mengagetkan saja. Dua minggu lagi bu’…” jawab Vita seraya memeluk ibunya Vita dan buk Ita larut dalam suasana sore yang hangat.
“Aah…ibu mengagetkan saja. Dua minggu lagi bu’…” jawab Vita seraya memeluk ibunya Vita dan buk Ita larut dalam suasana sore yang hangat.
Tapi, tiba-tiba mereka dikagetkan oleh kedatangan dua orang Polisi ke rumahnya. Pak polisi itu menyampaikan sebuah kabar yang menghancurkan dunia Vita dan buk Ita.
Polisi yang bertubuh jangkung dan tegap menyampaikan bahwa “Pak Budi, mengalami kecelakaan, dan sekarang ada di rumah sakit. Tapi ibu harus sabar, karena Pak Budi tidak bisa diselamatkan. Dia meninggal. Dan kami akan menyelidiki kasus ini,” jelasnya.
“Tidaaakk…” Vita histeris dan menangis sejadi-jadinya. Ibunya pingsan, beberapa saat kemudian sadar, dan menangis. Kemudian buk Ita bergegas ke rumah sakit bersama kedua polisi tadi.
Awan hitam yang bertengger semakin pekat, petir sesekali menyambar. Tak lama kristal-kristal bening turun dari langit, seakan ikut menangis bersama Anna. Beberapa saat kemudian buk Siti kembali bersama ambulan dan jenazah Pak Budii, Vita kembali histeris ketika melihat tubuh kaku ayahnya.
Awan hitam yang bertengger semakin pekat, petir sesekali menyambar. Tak lama kristal-kristal bening turun dari langit, seakan ikut menangis bersama Anna. Beberapa saat kemudian buk Siti kembali bersama ambulan dan jenazah Pak Budii, Vita kembali histeris ketika melihat tubuh kaku ayahnya.
“Ayah…ayah nggak boleh pergi secepat ini! Lihatlah Vita berhasil dulu! Vita akan ke Cambridge, Yah! Vita akan jadi psikolog terkenal, Vita akan buat ayah bangga! Ayah bangun, yah…bangun….” Vita berteriak di samping jenazah ayahnya.
“Sabar, nak, sabar. Ikhlaskan semua, biarkan ayah pergi dengan tenang.” Lirih bu Vita perih.
Keesokan harinya jenazah Pak Budi baru dikebumikan. Buk Ita terlihat tegar meskipun raut wajahnya masih menyisakan duka, matanya masih sembab karena tangis semalam. Vita hanya mematung di depan kuburan ayahnya, sesekali air matanya menetes namun terasa perih karena bulir-bulir bening itu hampir kering seakan telah habis terkuras. Vita memang sangat terpukul atas kematian ayahnya.
Keesokan harinya jenazah Pak Budi baru dikebumikan. Buk Ita terlihat tegar meskipun raut wajahnya masih menyisakan duka, matanya masih sembab karena tangis semalam. Vita hanya mematung di depan kuburan ayahnya, sesekali air matanya menetes namun terasa perih karena bulir-bulir bening itu hampir kering seakan telah habis terkuras. Vita memang sangat terpukul atas kematian ayahnya.
***
Hasil UAN sudah diumumkan Vita elina sari, juara umum SMA Harapan dan mendapat beasiswa kuliah di Harvard University. Namun, bagi Anna, semua ini tidaklah penting lagi. Ia rasa semua usahanya selama ini sia-sia karena dia tidak akan terbang ke Cambridge. Semua mimpi-mimpinya terpaksa dikubur. Kuliah di Cambridge dan jadi psikolog terkenal hanya tinggal impian.
Vita teringat ucapan ibunya dua hari yang lalu, “Nak, sepertinya mimpimu untuk kuliah di Prancis tidak dapat ibu wujudkan. Sekarang keadaan kita sudah beda. Ayahmu sudah tidak ada. Ibu minta maaf, nak. Ibu tak sanggup membiayaimu jika kamu kuliah di luar negeri. Lebih baik kamu kuliah di sini saja. Maafkan ibu nak”,
Vita tertegun mendengar ucapan ibunya. Matanya berkaca-kaca, bibirnya bergetar, perasaan kecewa tertancap dalam di hatinya. Ia tak sanggup mendengar kata-kata itu. Tapi, cepat-cepat ia sembunyikan perasaannya. Walau berat ia berusaha untuk tersenyum.
Vita tertegun mendengar ucapan ibunya. Matanya berkaca-kaca, bibirnya bergetar, perasaan kecewa tertancap dalam di hatinya. Ia tak sanggup mendengar kata-kata itu. Tapi, cepat-cepat ia sembunyikan perasaannya. Walau berat ia berusaha untuk tersenyum.
Sejak Pak Budi meninggal, keluarga Vita semakin sulit. Ditambah lagi ibunya yang sering sakit-sakitan dan adiknya yang akan segera masuk SMA. Dua semester telah berlalu, sekarang Vita memang sedang kuliah di salah satu universitas terkenal di kotanya. Namun, karena keadaan keluarga yang sepeti itu, Vita memutuskan untuk berhenti kuliah. Dengan berat hati Vita mengambil keputusan untuk berhenti dari kuliahnya dan ingin mencari pekerjaan. Kali ini impiannya benar-benar harus dikubur. Hatinya sangat sakit seperti tersayat sembilu tapi inilah hidup dan takdir, manusia hanya bisa berkeinginan.
***
Langit begitu pekat karena tak ada satu pun bintang yang menghiasi. Sang dewi malam sepertinya juga enggan menampakkan diri, Malam ini terasa sangat sunyi, hanya sesekali terdengar suara jangkrik, hewan malam lainnya sesekali juga ikut berdendang, seakan ikut larut dalam hawa dingin yang menusuk tulang. Jam dinding yang bergerak perlahan tak pernah lelah menggeser waktu dari detik ke menit, menit menjadi jam, begitulah takdirnya. Sudah sepertiga malam waktu berlalu, Vita terjaga dari tidur nyenyaknya. Ia segera bangkit dan berjalan menuju kamar mandi, lalu berwudhu. Vita selalu terjaga di pertiga malam. Dia bertahajud mengadu pada Illahi Rabbi. Kadang ia bercerita tentang kejadian-kejadian yang dialaminya dengan senyum kebahagiaan tapi sering kali ia tergugu dihadapan-Nya.
Malam telah berlalu dan berganti pagi yang cerah. Secerah senyuman buk Ita, wanita setengah baya yang sangat dihormati dan disayangi Ita, yaitu ibunda tercintanya. “Nak, ayo sarapan, ibu sudah siapin makanan kesukaanmu.” Suara buk Ita mengalun lembut ke kamar Vita.
“Ya, buk, sebentar…”Vita bergegas dan berlari menuju dapur.
“Ya, buk, sebentar…”Vita bergegas dan berlari menuju dapur.
limatahun sudah ayahnya meninggal dan Vita telah berubah menjadi gadis yang dewasa, santun dan penyayang. Saat ini Vita bekerja di salah satu perusahaan terkenal di kota kelahirannya, keadaan keluarganya mulai membaik dan ibunda tercinta tak lagi sering sakit-sakitan. Namun di lubuk hati terdalamnya masih ada kekecewaan yang tak bisa dihilangkan. Memang impian untuk kuliah di harvand University dan jadi psikolog terkenal tak dapat ia wujudkan, tapi melihat kebahagian kecil yang ia hadirkan dalam keluarganya membuat lukanya lambat laun dapat terobati.
Dalam hati kecilnya Vita masih berharap suatu saat nanti bisa tetap pergi ke Cambridge walaupun bukan untuk menimba ilmu. Karena Anna sudah menyadari ilmu tidak hanya didapat dari bangku sekolah, tapi pelajaran yang paling berharga adalah pelajaran yang di dapat dari kehidupan.
“Vita, tunggu aku…” teriakan itu menghentikan langkah gadis manis berwajah oval dan berhidung mancung yang berjalan agak tergesa-gesa itu. Dia menoleh ke asal suara. Seketika senyumnya merekah melihat sahabat karibnya, senyum tulus yang menenangkan hati setiap orang. Lalu mereka berjalan bergandengan di bawah sinar mentari yang cerah, segera memulai hari dengan penuh semangat demi masa depan yang cerah.